Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma, membawa perubahan baru dalam UU Otsus Jilid II terkait pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Hal ini tidak diatur dalam Otsus Periode pertama. Senator Filep menceritakan perjuangannya terkait hal ini.
“Sebagai Ketua Tim Otsus DPD RI, saya menginisiasi adanya pengisian anggota DPRK. Ini menjadi pembeda yang sangat jelas dengan Otsus Periode pertama. UU Nomor 21/2001 tidak mengatur ketentuan pengangkatan anggota dan penambahan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. Ini menyebabkan suara OAP sangat kecil atau menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Keterwakilan OAP pada Pemilu 2019 yang duduk di lembaga DPRD kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sangat minim,” ungkapnya kepada awak media, Kamis (30/11/2023).
Filep menyampaikan bahwa hal itu dapat dilihat seperti yang terjadi di Kota Jayapura, orang asli Papua hanya 13 orang dari total 40 kursi DPRD, di Kabupaten Jayapura hanya 7 orang dari 25 kursi DPRD, di Kabupaten Sarmi dari 20 kursi DPRD hanya 7 orang asli Papua, di Kabupaten Boven Digoel dari 20 kursi DPRD hanya 4 orang, di Kabupaten Merauke hanya 3 orang dari 30 kursi, dan di Kabupaten Keerom hanya 7 orang dari 23 kursi DPRD.
Sementara di Papua Barat, lanjut Filep, dari 20 kursi DPRD Kabupaten Sorong keterwakilan orang asli Papua hanya 3 orang, di Kabupaten Fakfak dari 20 kursi DPRD orang asli Papua hanya 8 orang, di Kabupaten Raja Ampat dari 20 kursi DPRD hanya 9 orang, di Kota Sorong dari 30 kursi DPRD orang asli Papua hanya 6 orang dan di Kabupaten Teluk Wondama dari 25 kursi DPRD, orang asli Papua hanya 11 orang.
“Hal ini membuat saya mendorong adanya DPRK yang diangkat dari unsur OAP. Pasal 6A disisipkan diantara Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 2 tahun 2021. Dalam pasal itu disebutkan bahwa DPRK terdiri atas anggota yang dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Keterwakilan OAP dalam politik harus kita perhatikan,” jelasnya.
Anggota DPRK yang diangkat berjumlah 1/4 kali dari jumlah anggota DPRK, dengan masa jabatan 5 tahun. Minimum 30 persen dari anggota yang diangkat berasal dari unsur perempuan.
Berdasarkan Pasal 191 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 kursi dan paling banyak 55 kursi. Penambahan keanggotaan OAP dalam DPRK sangat didorong.
Setelah adanya UU Otsus Perubahan terutama terkait keanggotaan DPRK, maka ada penambahan 5 kursi minimal dan 14 kursi yang diangkat dari OAP dari maksimal anggota DPRK. Jumlah suara ini sangat signifikan bagi eksistensi OAP di kabupaten.
OAP selalu menjadi minoritas dalam proses pemilihan anggota DPRP dan DPRD. Hal ini dikarenakan kemampuan finansial yang minim, dan anggapan bahwa OAP tidak mampu bersaing dengan saudara-saudara Nusantara yang lain.
Dorongan adanya partai politik lokal ditolak oleh MK. Maka dari itu, jalur pengangkatan dianggap sebagai model baru yang akan berguna bagi Pemilu 2024 nanti.
Jalur pengangkatan juga harus masuk unsur pimpinan dewan. Di sinilah struktur Otsus diperkuat, dimana OAP mewakili OAP. Dengan cara ini, baik di level provinsi maupun kabupaten semua kebijakan akan ada afirmasi bagi OAP.
Berdasarkan UU Otsus Perubahan, Filep mendorong Pemerintah Pusat untuk melahirkan PP terkait ini sebagaimana perintah Pasal 6A ayat (6). Kemudian, lahirlah PP Nomor 106/2021 dan PP Nomor 107/2021.
Ruang lingkup PP termasuk dalam pengisian anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari unsur OAP. Selanjutnya, Pasal 42 PP tersebut juga menegaskan kembali isi Pasal 6A UU Otsus Perubahan.
Anggota DPRK yang diangkat berhimpun dalam 1 Kelompok Khusus dan bersifat tetap, yang memiliki sekretariat sendiri. Daerah pengangkatan anggota DPRK berdasarkan pada persebaran suku, subsuku, dan kesatuan adat serta budaya yang ada di kabupaten/kota.
OAP tidak akan menjadi minoritas lagi sehingga suara OAP dapat semakin didengar dan menjadi pemimpin di tanahnya sendiri.