KABAR DPR – Situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, menjadi target peretasan oleh seseorang yang dikenal dengan nama Jimbo. Menurut Lembaga keamanan siber, Cissrec, Jimbo berhasil mengakses data sekitar 247 juta pemilih.
Namun, setelah pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ada duplikasi data sehingga jumlah akhirnya sekitar 204 juta. Data ini sesuai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), mencakup nama, tanggal lahir, NIK, dan rincian lainnya. Bahkan, data-data yang sangat rinci ini dijual oleh peretas dengan nilai fantastis, mencapai US$74 ribu atau setara dengan Rp 1,2 miliar.
Menurut Pakar Telematika, Roy Suryo, peretasan ini tidak hanya menyebabkan kerugian besar secara teknis, tetapi juga secara sosial politik.
Untuk itu, peretasan data tidak boleh hanya dipahami secara teknis, tetapi juga harus dipandang dari aspek sosial politik. Terlebih lagi, dengan biaya demokrasi yang sangat besar, mencapai Rp76,6 triliun rupiah untuk Pemilu 2024.
“Kalau hanya secara teknis menjadi signifikasi terlalu terlalu simpel memandangnya padahal dampaknya terlalu besar ke masyarakat,” kata Roy Suryo dalam Podcast JCC Network bertajuk “Si Jimbo Satroni Kelemahan KPU”, Senin (4/12/2023).
Menurut Roy Suryo, yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini, pencurian data, juga bisa dapat disalahgunakan untuk kepentingan lain. Misalnya, dengan data lengkap seperti nama, tanggal lahir, dan NIK, pelaku dapat melakukan penipuan atau kejahatan finansial, dalam aplikasi pinjaman online.
“Misalnya seseorang datanya diambil digunakan untuk aplikasi pinjaman online, ini akan berbahaya karena data-datanya lengkap,” ucap Roy Suryo.
Pakar telematika ini juga menyoroti potensi yang lebih besar dalam sistem perlindungan DPT oleh KPU. Sebab, dengan adanya akses ke data pemilih yang begitu besar, dikhawatirkan bahwa hasil pemilu nanti dapat diretas, kemudian menggoyangkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas proses demokrasi.
“Itu membuat orang khawatir jangan-jangan nanti hasil dari pemilu bisa diretas,” pungkasnya.