Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan kemarau panjang dan suhu tinggi akibat fenomena El Nino belum akan berakhir dalam waktu dekat ini. Riset terbaru Tim Variabilitas, Perubahan Iklim dan Awal Musim (TIVIPIAM) BRIN menemukan tanda-tanda akan terjadinya Gorila El Nino atau kemarau yang makin parah di Indonesia.
“Dari sisi indeks terus naik, di saat bersamaan ada transfer energi dari wilayah timur Samudra Pasifik yang dekat Peru ke arah barat. Ketika sudah mencapai 2, pada saat itu, kekeringan akan semakin terasa,” kata Ketua TIM TIVIPIAM BRIN Erma Yulihastin, dikutip Minggu (29/10/2023).
Erma menjelaskan pengukuran indeks dan kekuatan El Nino dilakukan dengan membagi area di sekitar Samudera Pasifik menjadi 4 bagian. Area 1 dan 2 adalah wilayah timur Pasifik yang mengarah ke negara Peru. Sementara area 3 dan 4 merupakan wilayah barat Samudera Pasifik.
Area 3 dan 4 berada lebih dekat dengan Papua dan paling berpengaruh kepada kondisi iklim Indonesia. Dia mengatakan apabila fenomena El Nino bergerak ke area 3 dan 4, pada saat itulah kemarau akan bertahan lebih lama dengan intensitas yang lebih kuat. Bila itu terjadi Indonesia, kata dia, dipastikan akan mengalami kondisi seperti El Nino pada 2015.
“El Nino tahun 2015 itu, ketika seharusnya dia sudah di fase menurun, ternyata bertahan. Sehingga siklus hidupnya saat itu bukan lagi 9 bulan, melainkan lebih 1 tahun, bahkan hampir 2 tahun,” kata dia.
Erma mengatakan ahli El Nino dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Michael McPhaden menyebut El Nino pada 2015 sebagai Gorila El Nino. Nama itu disematkan karena periode waktunya dan tingginya intensitas El Nino.
“Pada saat itu, tidak ada satu pun model yang berhasil memprediksi El Nino akan sekuat itu dan bertahan selama itu,” katanya.
Erma mengatakan tanda-tanda terjadinya Gorila El Nino itulah yang saat ini sedang diwaspadai. Dia mengatakan kekuatan El Nino saat ini sedang menuju area 3 Samudera Pasifik alias semakin mendekati wilayah Indonesia. Menurut dia, kalau El Nino semakin mendekati area 3 maka kemarau yang lebih panjang dipastikan akan terjadi di Indonesia. “Kalau sudah 3,5 itu bukan super El Nino lagi, tapi Gorila El Nino,” ujar dia.
Meski demikian, Erma mengatakan bahwa belum ada yang bisa memastikan apakah Gorila El Nino akan terjadi di Indonesia. Dia mengatakan peneliti masih terus memantau perkembangan cuaca di Samudera Pasifik. “Apakah kita akan ada potensi Gorila El Nino? Kita tidak tahu, semua ilmuwan kini masih wait and see, harap-harap cemas,” kata dia.
Menurut dia, banyak ahli menduga fenomena Gorila El Nino disebabkan oleh suhu bumi yang naik lebih dari 1,5 derajat Celcius akibat perubahan iklim. Dia mengatakan banyak badan klimatologi dunia sedang berusaha membuat pemodelan cuaca yang lebih akurat dengan menghitung perbedaan suhu 1,5 derajat tersebut.