Indonesia mengalami kekeringan peredaran uang meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu bertahan di kisaran 5%. Hal ini diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia berargumen fenomena ini muncul karena adanya crowding out dana masyarakat. Menurutnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).
“Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu,” ujar Jokowi, dikutip Sabtu (30/12/2023).
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya 3,9% secara tahunan (year on year/yoy) per Oktober 2023, menjadi Rp 7.982,3 triliun. Angka pertumbuhan tersebut turun jauh dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 6,4% (yoy).
Pertumbuhan ini mengalami stagnasi pada November 2023. Pada bulan tersebut, DPK tercatat sebesar Rp 8.029,7 triliun, atau tumbuh sebesar 3,8% (yoy). Ini dipengaruhi oleh pertumbuhan DPK perorangan yang tumbuh sebesar 5,1% secara tahunan, sementara DPK korporasi tumbuh sebesar 3,1% secara tahunan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan melambatnya pertumbuhan likuiditas atau dana pihak ketiga (DPK) itu disebabkan instrumen investasi kini semakin banyak, sehingga masyarakat tidak hanya mengalokasikan uang lebihnya untuk ditabung di bank saja, melainkan juga masuk ke berbagai instrumen investasi.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menambahkan, kondisi lemahnya pertumbuhan DPK itu terutama disebabkan golongan nasabah korporasi. Dipicu oleh pendapatannya yang ikut menurun akibat melemahnya harga-harga komoditas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai likuiditas bank di Indonesia dalam kondisi yang baik meskipun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam dua bulan terakhir terbilang rendah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa memang terjadi perlambatan penempatan dana masyarakat di perbankan. Satu penyebabnya adalah ekonomi Indonesia saat ini dalam proses normalisasi setelah pandemi Covid-19.
Selain itu dia menduga perlambatan pertumbuhan DPK karena masyarakat memiliki banyak pilihan penempatan dana. “Instrumen menempatkan dana lebih bervariasi termasuk juga kemungkinan investasi SBN dan pasar modal,” kata Mahendra.
Melihat fenomena ini, Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS Purbaya Yudhi Sadewa tidak tinggal diam. Dia mengatakan pihaknya sedang melakukan investigasi terhadap kemana larinya dana masyarakat.
Dia memaparkan ada beberapa kemungkinan terkait kekeringan uang tersebut, yakni, uang itu hanya ‘ngumpul’ di bank besar atau di pemerintah yang dalam hal ini BI. Inilah yang LPS sedang teliti.