Sebuah rencana kontroversial yang beredar di Gedung Putih untuk membangun “Gaza Riviera” sebagai rangkaian kota megah berteknologi tinggi kembali mencuat di media. Hal ini terjadi di tengah serangan dan pengeboman yang terjadi di Gaza oleh pasukan Israel. Washington Post mengungkapkan bocoran prospektus yang merinci rencana tersebut, yang melibatkan pemindahan paksa seluruh populasi Gaza yang berjumlah lebih dari 2 juta orang dan menjadikan wilayah tersebut di bawah perwalian Amerika Serikat (AS) selama setidaknya satu dekade.
Rencana yang diberi nama the Gaza Reconstitution, Economic Acceleration and Transformation Trust (GREAT) dikembangkan oleh sejumlah individu Israel dan didukung oleh Gaza Humanitarian Foundation dengan dukungan dari AS dan Israel. Rencana keuangan GREAT disusun oleh Boston Consulting Group. Rinciannya termasuk relokasi sementara seluruh penduduk Gaza ke tempat lain, dengan cara ‘sukarela’, untuk memfasilitasi proses rekonstruksi.
Skema ini diusulkan untuk tidak membebankan dana kepada AS dan akan didanai oleh investor dengan total hingga US$ 100 miliar (Rp 1.642 triliun). Gaza direncanakan akan diubah menjadi kota pelabuhan yang ramai, dikelilingi oleh delapan kota megah berteknologi tinggi yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI) mirip dengan proyek Neom di Arab Saudi. Selain itu, rencana tersebut termasuk pembangunan taman manufaktur “Elon Musk” di atas reruntuhan zona industri Erez.
Meskipun tidak jelas apakah rencana tersebut diakui oleh pemerintah AS, ambisi Donald Trump untuk ‘membersihkan’ Gaza dan membangun kembali wilayah tersebut telah disebutkan sebelumnya. Namun, rencana GREAT ini mendapat kritik tajam dari beberapa pihak, termasuk Trial International, sebuah organisasi hak asasi manusia di Swiss, yang menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Kelompok hak asasi manusia lainnya telah menyatakan keprihatinan mereka terhadap kemungkinan pelanggaran hukum internasional yang terjadi dalam pelaksanaan rencana tersebut. Para pelaku bisnis yang terlibat dalam proyek ini juga dinilai berisiko terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum internasional. Kritik dan keprihatinan terus berkembang terkait dengan rencana kontroversial ini.