BeritaBerkala: Portal Informasi Harian hingga Bulanan
Berita  

Ketua DPD RI Menjelaskan Dua Alasan Indonesia Mengadopsi Sistem Demokrasi Barat Saat Berada di Depan Advokat Peradi

Ketua DPD RI Menjelaskan Dua Alasan Indonesia Mengadopsi Sistem Demokrasi Barat Saat Berada di Depan Advokat Peradi

Sejak era reformasi, Indonesia menerapkan Sistem Demokrasi ala Barat melalui Pemilu Presiden Langsung. Dan sejak saat itu juga, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat. Karena pelaksana kedaulatan adalah Partai Politik dan Presiden terpilih. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menjelaskan bahwa penerapan Sistem Demokrasi ala liberal Barat itu disumbangkan oleh dua hal mendasar. Pertama, adanya praktik penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru terhadap sistem Demokrasi Pancasila. Kedua, karena para mahasiswa hukum dan kampus-kampus hukum di Indonesia dijejali teori tata negara yang menyatakan demokrasi Barat adalah yang terbaik.

“Akibatnya pada saat Amandemen Konstitusi kita langsung mengadopsi sistem demokrasi tersebut. Termasuk mengganti sistem bernegara Indonesia. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah membenahi praktek penyimpangan di Era Orde Baru, tanpa harus mengganti Azas dan Sistem Bernegara yang sesuai Pancasila,” ujar LaNyalla.

Dengan diterapkannya Sistem Demokrasi ala Barat, lanjut LaNyalla, Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik dengan cara, bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.

Jika partai politik dan Presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.

“Tidak ada lagi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Karena memang sudah tidak ada Lembaga Tertinggi Negara lagi. MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing,” papar LaNyalla.

Sementara, rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dimana komposisi Hakim MK terdiri dari pilihan presiden dan pilihan partai politik. Dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.

“Memang ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam Sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal,” katanya lagi.

Dalam pandangan Senator asal Jawa Timur itu, kekacauan sistem tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Karena itulah, kata LaNyalla, DPD RI, mengambil inisiatif kenegaraan, dengan mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, sehingga bangsa ini kembali ke fitrah negara Pancasila, dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tentunya dilakukan penyempurnaan dan penguatan dengan teknik adendum.