Orang dewasa yang hidup dalam kondisi ketidakamanan energi memiliki risiko dua kali lipat mengalami gejala kecemasan dan depresi dibandingkan dengan mereka yang hidup tanpa masalah energi. Temuan tersebut berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Georgia Institute of Technology dan Case Western Reserve University dan baru-baru ini dipublikasikan di JAMA Network Open. Penelitian ini mengamati hampir 1,14 juta tanggapan dari survei Household Pulse Survey milik Biro Sensus Amerika Serikat. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami kesulitan membayar tagihan energi sepenuhnya atau sengaja menghemat biaya dengan membiarkan rumah dalam suhu yang tidak aman. Hal ini berdampak pada pengurangan kebutuhan dasar seperti makanan atau obat untuk menutup biaya energi.
Setelah disesuaikan dengan faktor demografis, peneliti menemukan bahwa ketidakamanan energi menjadi indikator yang kuat menurunnya kesehatan mental. Riset ini menunjukkan bahwa ketegangan finansial dan ketidaknyamanan fisik karena pilihan yang sulit dapat memicu stres kronis dan mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang. Dampak psikologis dari ketidakamanan energi diyakini setara atau bahkan lebih berat daripada bentuk kerentanan dasar lainnya seperti kekurangan pangan atau perumahan.
Oleh karena itu, tim peneliti mendorong pentingnya memasukkan ketidakamanan energi ke dalam indikator sosial penentu kesehatan dan layanan skrining klinis di fasilitas kesehatan. Mereka juga mengingatkan pemerintah untuk memperluas program bantuan energi, melindungi rumah dari pemutusan listrik, dan meningkatkan efisiensi energi melalui program weatherization. Dengan lonjakan tagihan energi dan tekanan inflasi, rumah tangga berpenghasilan rendah menjadi pihak yang paling terdampak. Inisiatif untuk mendukung kesehatan mental dan memberikan perlindungan sosial haruslah memperhitungkan dampak ketidakamanan energi, bersama dengan masalah ketahanan pangan dan perumahan.












