Pasokan beras fortifikasi dengan klaim label mengandung vitamin dan zinc tengah menjadi perhatian di tengah minimnya pasokan beras di gerai ritel modern. Meskipun harganya lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemerintah, beras fortifikasi tetap mendominasi rak-rak ritel modern dengan harga mencapai Rp 140.000 per kemasan 5 kg. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan evaluasi terkait hal ini.
Terkait keberadaan beras fortifikasi, para pengamat pangan dan pakar hukum menyebutnya sebagai aksi perlawanan mafia pangan dan berpotensi melanggar UU Pidana. Hal ini disebabkan oleh praktik produsen beras yang dapat memanfaatkan subsidi pemerintah untuk kembali menjual beras dengan harga yang mahal, sedangkan beras medium dan premium semakin sulit ditemui.
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai praktik produsen beras ini sebagai bentuk kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat. Ia menegaskan bahwa tindakan ini dapat melanggar berbagai aturan pidana, seperti UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Larangan Praktik Monopoli.
Azmi mendesak Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional untuk memperkuat pengawasan distribusi beras medium dan premium serta meningkatkan transparansi terkait jalur subsidi. Selain itu, ia juga meminta agar bantuan subsidi pemerintah benar-benar sampai ke masyarakat dengan tepat.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa tersendatnya pasokan beras premium di ritel modern disebabkan oleh penyesuaian yang dilakukan penggilingan padi agar sesuai dengan standar label beras premium. Namun, peristiwa terkait beras oplosan sebelumnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih disiplin dalam memproduksi beras sesuai dengan ketentuan yang berlaku.