Ketika mencoba mengingat kembali momen tragis ketika Marco Simoncelli meninggal dunia, kenangan itu masih terpatri dalam pikiran. Kehilangan yang dirasakan tidak hanya oleh saya, tetapi juga oleh keluarga dan teman-teman terdekatnya. Peristiwa tersebut telah meninggalkan trauma yang membuat saya merasa ngeri setiap kali melihat kecelakaan di trek balap sejak itu. Bahkan, ketika melihat insiden serupa yang menimpa Marc Marquez di Mandalika pada 2022, perasaan tidak nyaman itu kembali menghantuiku.
Tidak hanya itu, bahkan insiden apes yang menimpa Felipe Massa di F1 GP Hungaria 2009 juga masih membekas di ingatan saya. Namun, beruntungnya, Massa berhasil selamat meskipun polemik mengenai dampak insiden tersebut terhadap kariernya dalam Formula 1 masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ketika melihat Jorge Martin selamat dari kecelakaan mengerikan di MotoGP Qatar 2025, saya merasa lega meskipun ketakutan akan kengerian insiden tersebut masih membayangi.
CEO Aprilia Racing, Massimo Rivola, menggambarkan kejadian tersebut sebagai sebuah kejutan yang mengerikan. Keputusan untuk menggunakan aspal di run-off area tetapi tidak menyertakan rumput atau kerikil menimbulkan pertanyaan serius terkait keselamatan para pembalap. Bahkan Rivola sendiri sempat berdebat dengan direktur balap sirkuit, Charlie Whiting, mengenai hal tersebut. Kritik atas kompromi keselamatan di trek balap menjadi topik yang berkembang di dunia Formula 1 dan MotoGP.
Kedua olahraga ini memang memiliki persyaratan keselamatan yang berbeda, namun faktor keselamatan tetap menjadi prioritas utama bagi semua pihak terkait. Dengan gravel trap kembali digunakan di Formula 1 pada 2024, pertanyaan mengenai penggunaannya dalam menjaga keselamatan pembalap menjadi semakin relevan. Dengan mempertimbangkan perbedaan signifikan antara Formula 1 dan MotoGP, penting untuk menemukan solusi tengah yang dapat meningkatkan keselamatan para pembalap tanpa mengorbankan kenyamanan dan praktikalitas lintasan balap.