Industri pakaian bayi dalam negeri mengalami penurunan pesanan dari pasar lokal, seperti Tanah Abang dan Mangga Dua, Jakarta. Ruginya pasar domestik ini disebabkan oleh preferensi pedagang untuk menjual barang impor daripada produk lokal. Hal ini terjadi sejak beberapa tahun terakhir, terutama setelah impor besar-besaran dari China mulai masuk ke Indonesia.
Roedy Irawan, Pembina Pengurus Perkumpulan Pengusaha Pakaian dan Perlengkapan Bayi Indonesia (P4B), mengungkapkan bahwa pabrikan lokal saat ini menghadapi penurunan pesanan yang signifikan. Di samping itu, impor barang bayi tidak hanya merajalela di pasar fisik seperti Mangga Dua, namun juga di pasar online. Masalahnya semakin diperparah karena sulitnya dalam mengendalikan para importir yang belum terdeteksi oleh pemerintah.
Ian Syarif, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menyoroti fakta bahwa pameran pakaian bayi impor dari China sangat masif di Indonesia. Mereka menjual dengan harga per kilogram dan menjalankan sistem door-to-door. Harganya pun cukup kompetitif, sekitar US$25-30 per kilo, membuat pedagang lokal bisa menjualnya dengan harga yang menguntungkan.
Ketentuan label bahasa Indonesia telah diatur dalam Permendag, namun di pasar masih banyak ditemukan label bahasa asing. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait pelanggaran peraturan importasi yang ketat di negara lain. Ian juga menekankan bahwa industri lokal akan sangat terpengaruh oleh begitu banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia. Perbedaan aturan dalam rantai pasok industri dalam negeri juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan.
Dalam situasi yang semakin tidak terkendali ini, efektivitas pemerintah dalam mengendalikan impor dan mengatur supply chain industri dalam negeri menjadi sangat penting. Upaya ini diperlukan untuk melindungi industri tekstil dan pakaian lokal agar tetap berdaya saing di tengah arus globalisasi yang semakin kompetitif.