Iran dan Amerika Serikat telah memulai putaran baru dalam perundingan nuklir di Roma, menandai upaya untuk mengatasi kebuntuan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Meskipun dibayangi oleh ancaman Presiden Donald Trump terhadap tindakan militer jika upaya diplomasi gagal, perundingan ini dilanjutkan dengan pertemuan tidak langsung antara Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, dan utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, melalui perantara dari Oman.
Negosiasi langsung antara kedua negara belum terjadi sejak tahun 2015 di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama. Araqchi, dalam pernyataannya, menegaskan komitmen Iran terhadap diplomasi dan menyerukan semua pihak yang terlibat untuk memanfaatkan kesempatan guna mencapai kesepakatan nuklir yang masuk akal dan logis. Ia juga menekankan pentingnya menghormati hak-hak Iran dan pencabutan sanksi yang tidak adil sebagai bagian dari kesepakatan tersebut.
Sebelumnya, Iran telah menyatakan keyakinannya dalam mencapai kesepakatan dengan AS sejauh Washington bersikap realistis. Sementara Trump, berbicara kepada wartawan sebelumnya, menegaskan bahwa ia mendukung upaya agar Iran tidak memiliki senjata nuklir. Sikap tekanan maksimum terhadap Iran telah dihidupkan kembali sejak Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari, dengan berbagai tuntutan untuk menghentikan produksi uranium yang dianggapnya untuk kepentingan pembuatan senjata nuklir.
Sementara Teheran terus mengklaim bahwa program nuklirnya bersifat damai, negosiasi dilakukan atas beberapa pembatasan sebagai imbalan atas pencabutan sanksi, dengan syarat Washington memberikan jaminan bahwa kesepakatan tidak akan disalahgunakan di masa depan. Sejak 2019, Iran telah melampaui batas kesepakatan 2015 mengenai pengayaan uranium dan terus meningkatkan stok uraniumnya, menimbulkan kekhawatiran bagi Barat. Dengan optimalisasi diplomasi dalam perundingan nuklir, harapannya adalah terciptanya solusi positif bagi Timur Tengah.