Penyakit paling mendesak dari tubuh ekonomi Indonesia saat ini adalah mengalirnya kekayaan nasional dari wilayah Indonesia. Terlalu besar hasil dari ekonomi Indonesia disimpan dan dimanfaatkan di luar negeri. Uang bagi suatu negara, kekayaan bagi suatu bangsa, adalah sama dengan darah. Saat ini tubuh bangsa Indonesia berdarah, dan ternyata berdarahnya sudah puluhan tahun. Jika kita hitung sejak zaman penjajahan, maka sudah ratusan tahun ekonomi kita berdarah.
Saudara yang mengikuti pemikiran saya sejak lama tentu mengetahui bahwa sudah bertahun-tahun saya sampaikan, kekayaan Indonesia tiap tahun mengalir ke luar Indonesia. Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia. Ini artinya, kita semua, seluruh bangsa Indonesia, saat ini sedang kerja rodi. Kita sedang kerja bakti untuk orang lain. Kita bekerja keras, di Indonesia, untuk memperkaya bangsa lain. Kita seperti indekos di rumah sendiri. Dulu saat VOC menguasai ekonomi Indonesia, mengalirnya kekayaan kita ke luar begitu nyata terlihat dan oleh karenanya dipersoalkan oleh Generasi ’45 yang mendahului kita. VOC menjadi perusahaan dengan nilai tertinggi dalam sejarah ekonomi dunia.
Pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia pada waktu itu luar biasa tinggi, PDB wilayah Indonesia mungkin salah satu tertinggi di dunia, tapi keseluruhan hasilnya disimpan di bank-bank Belanda. Kondisi yang sekarang memang lebih sulit terlihat, padahal hampir serupa. Karena itu banyak dari kita tidak menyadari hal ini. Bagi sedikit yang mengetahui, mereka diam atau menyerah pada keadaan. Sebagian lagi menjadi agen penyalur kekayaan kita yang mengalir ke luar.
Ada beberapa indikator ekonomi yang dapat kita jadikan acuan untuk melihat bagaimana kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri. Yang pertama, adalah neraca perdagangan negara kita, terutama kepemilikan dari perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor. Yang kedua, adalah data simpanan di bank-bank luar negeri yang merupakan milik pengusaha dan perusahaan Indonesia, serta perusahaan asing yang mengambil untung di Indonesia dan menempatkan keuntungannya di luar negeri.
Saya mulai menyimak tabel neraca ekspor-impor Indonesia dari tahun 1997. Pada saat itu saya sedang berada di Yordania, dan saya ingin mengetahui bagaimana sebenarnya situasi ekonomi kita. Ternyata, sekarang, kalau kita lihat neraca ekspor-impor Indonesia dari tahun 1997 ke tahun 2014, selama 17 tahun, total nilai ekspor kita mencapai angka USD 1,9 triliun dan mengalami surplus atau keuntungan perdagangan. Kurang lebih Rp. 26.600 triliun jika menggunakan kurs Rp. 14.000. Ini jumlah yang cukup besar. Namun perlu kita ingat, ini adalah angka yang tercatat dalam dokumen ekspor. Belum tentu sama nilai ekspor yang sebenarnya. Berdasarkan pengalaman banyak pelaku ekspor yang berdiskusi dengan saya, dan hasil penelitian lembaga riset kredibel, angka ini bisa keliru 20%, bisa 30%, bahkan bisa 40%. Lembaga riset Global Financial Integrity menaksir kebocoran ekspor akibat trade misinvoicing, atau “kesalahan” dalam pembukuan nilai dan volume ekspor, mencapai USD 38,5 miliar di 2016, setara Rp. 540 triliun atau 13,7% dari total perdagangan. Selama kurun waktu 2004 hingga 2013, total kebocoran akibat “kesalahan” ini mencapai USD 167,7 miliar – atau jika kita gunakan kurs USD 1 = Rp. 14.000, sama dengan Rp. 2.300 triliun.
Selain itu, setelah saya selidiki, banyak uang hasil keuntungan kita tidak tinggal di dalam negeri. Karena itu, saya tidak begitu kaget ketika Menteri Keuangan pada Agustus 2016 mengatakan bahwa ada Rp. 11.400 triliun uang milik pengusaha dan perusahaan Indonesia yang parkir di luar negeri. Jumlah Rp. 11.400 triliun ini 5x lebih besar dari APBN kita saat ini, dan kurang lebih sama dengan pendapatan domestik bruto (PDB) kita.
Selain adanya ekspor yang tidak dilaporkan atau salah dilaporkan oleh pengusaha kita, sebagian besar keuntungan ekspor Indonesia masuk ke perusahaan-perusahaan asing dengan rekening di luar negeri. Ini terjadi karena sebagian besar dari nilai ekspor kita dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang memiliki perusahaan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini menjual hasil alam Indonesia. Mereka menggunakan jalan, pelabuhan, dan keringat orang Indonesia. Tetapi ketika mereka mendapatkan untung, mereka tidak menyimpan keuntungan mereka di Indonesia.
Selain itu, ada juga pengusaha-pengusaha Indonesia yang melakukan usaha ekspor, dan melakukan usaha di Indonesia, yang setelah untung, malah ikutan menyimpan dan memindahkan sebagian keuntungan mereka ke luar negeri. Ini masalah besar untuk bangsa kita. Jika uang ini tidak tinggal di Indonesia, maka uang ini tidak dapat digunakan untuk membangun Indonesia. Bank-bank di Indonesia tidak punya cukup uang untuk memberikan kredit yang bisa membangkitkan ekonomi kita. Tidak terjadi multiplier effect yang bisa membangkitkan gairah ekonomi Indonesia.
Apakah ini masalah yang baru? Jika kita lihat mundur ke belakang, ternyata mengalirnya kekayaan Indonesia ke luar negeri telah terjadi selama ratusan tahun. Ini adalah masalah sistemik yang perlu kita ketahui dan hadapi.
Kalau kita mundur ke belakang, tahun 1950, kecuali di tengah pergolakan-pergolakan, ekspor impor Indonesia tetap untung. Tapi untungnya untuk siapa? Kalau kita buka pidato Bung Karno, “Indonesia Menggugat”, dan kita pelajari, beliau bicara persis sama. Hanya kalau saya pakai angka dolar AS dan Rupiah, beliau pakai angka Gulden. Intinya adalah mengalirnya kekayaaan kita ke luar negeri. Beliau menulis: Bahwasanya, Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu surga, suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan kenikmatannya. Kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah Undang-undang Agraris dan Undang undang Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten Generaal di negeri Belanda, masuklah, modal partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderneming tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal partikelir yang membuka macammacam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau pebrik-pabrik yang lain.
Bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanya perubahan cara pengedukan rezeki; bagi rakyat Indonesia, imperialisme-tua dan imperialisme-modern kedua-duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainage! Kemarin saya baca sebuah penelitian yang membuka catatan resmi Pemerintah Belanda tahun 1878 sampai 1941 soal keuntungan ekspor Indonesia, tabungan orang Belanda di Indonesia serta anggaran Belanda untuk menjajah Indonesia. Penelitian ini menemukan keuntungan Belanda selama 63 tahun adalah 54 miliar Gulden. Jumlah ini, pada waktu itu sama dengan USD 22 miliar. USD 22 miliar waktu itu, jika disetarakan dengan uang sekarang, kira-kira sama dengan USD 398 miliar, atau sampai USD 5.123 miliar. USD 5.123 miliar itu artinya Rp. 66.599 triliun.
Mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri atau capital outflow inilah yang dipermasalahkan oleh Bung Karno. Saya, Prabowo Subianto, yang bukan sarjana ekonomi, menyebut fenomena ini “net outflow of national wealth”. Mengalir ke luarnya kekayaan nasional dalam jumlah yang keterlaluan.
Indikator lain yang menunjukkan mengalirnya kekayaan kita ke luar negeri adalah jumlah simpanan di bank-bank luar negeri yang milik orang Indonesia. Menurut Kementerian Keuangan, pada akhir 2016 ada Rp. 11.000 Triliun kekayaan orang Indonesia yang disimpan di bank-bank di luar negeri. Mengingat APBN atau anggaran belanja negara kita saat ini hanya Rp. 2.000 Triliun, jumlah ini lebih dari 5 kali APBN kita. Padahal, jumlah yang lebih dari 5 kali lipat anggaran negara kita ada di luar negeri ini, jika ada di dalam negeri, bisa disalurkan oleh bank-bank Indonesia untuk membiayai usaha-usaha Indonesia. Bisa disalurkan untuk membangun infrastruktur, dan menjadikan BUMN-BUMN Indonesia perusahaan-perusahaan kelas dunia.
Indikator lain yang cukup miris bagi saya, adalah besarnya aset bank-bank di negeri tetangga, sebagai contoh di Singapura, dibandingkan dengan bank-bank terbesar Indonesia. Jumlah penduduk Singapura 50 kali lebih sedikit dari kita. Besar ekonomi Singapura yang USD 372 miliar di tahun 2019 juga 3 kali lebih kecil dari ekonomi kita yang mencapai USD 1.119 miliar di tahun yang sama. Namun bank terbesar mereka bisa 5 kali lebih besar dari bank terbesar di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun 2020, jumlah asset under management BRI hanya USD 101 miliar. Sedangkan angka yang sama untuk DBS adalah USD 451 miliar, untuk OCBC USD 365 miliar dan untuk UOB USD 300 miliar. Total jumlah aset di tiga bank terbesar Singapura mencapai USD 1.116 miliar. Sedangkan total aset tiga bank terbesar Indonesia: BRI, Mandiri dan BCA hanya USD 263 miliar atau hanya 23% dari yang dikuasai oleh tiga bank terbesar Indonesia. Padahal ekonomi kita 3 kali lebih besar dari Singapura.
Indikator terakhir adalah keberadaan ~USD 200 miliar uang orang Indonesia di bank-bank di Singapura. Dengan kurs USD 1 = Rp. 14,000, ini artinya ada Rp. 2.800 triliun uang orang Indonesia yang disimpan di Singapura.
Mengalirnya kekayaan nasional ke luar negeri menjadi penyakit ekonomi yang mendesak untuk diatasi di Indonesia. Jumlah yang sangat besar dari kekayaan Indonesia yang ada di luar negeri seharusnya digunakan untuk membangun negeri ini. Kita harus menyadari bahwa ini adalah masalah sistemik yang telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun dan harus diubah. Kita harus memperbaiki kondisi ini agar kekayaan nasional kita dapat dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia.