Dalam bagian ini, saya ingin berbagi kisah tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang rekan satu-satunya. Ketika saya kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, kedua paman saya Subianto dan Sujono.
Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Salah satunya langsung menjadi perwira. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran. Mungkin karena lulus dari kedokteran, dia langsung menjadi perwira. Yang satunya lagi masuk Akademi Militer Tangerang.
Di rumah kakek saya, Margono, di Jalan Taman Matraman No. 10, yang sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, ada ruangan khusus untuk Subianto dan Sujono. Kamar dua paman saya itu, di tempat itu, masih dipertahankan. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka. Jadi setiap kali saya datang ke sana, kakek saya sudah menyiapkan tenda Subianto dipasang lagi. Saya selalu diminta untuk bermain di tenda. Kemudian saya dibawa ke kamar mereka, dan ditunjukkan “ini ranselnya, ini sepatunya, ini helmnya, itu tempat tidurnya.”
Dua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan seperjuangan mereka, Elias Daniel Mogot, seorang Mayor yang mendirikan Akademi Militer Tangerang.
Lahir di Manado pada tahun 1928, Daan Mogot bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun. Meskipun pada saat itu dia belum memenuhi syarat usia 18 tahun yang ditetapkan oleh pemerintah militer Jepang, prestasinya dalam pendidikan militer membuatnya dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, bersama dengan beberapa rekan perwira PETA lainnya, Daan Mogot mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.
Setelah Indonesia merdeka, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor pada usia 16 tahun. Berbekal pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya menggagas pendirian akademi militer. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada November 1945, Akademi Militer Tangerang (MAT) didirikan.
Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Mayor Daan Mogot bersama 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha berusaha mencegah senjata Jepang yang sudah menyerah agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda. Namun, pertempuran pecah dan Daan Mogot bersama Letnan Satu Subianto dan Letnan Soetopo gugur dalam pertempuran tersebut. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran tersebut, yang kini dikenal sebagai Pertempuran Lengkong.
Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/