KPU kembali melepaskan sekitar 204 juta data pemilih. Hal ini diduga dilakukan oleh “Jimbo”, dimana tahun lalu data KPU juga dibocorkan oleh “Bjorka”. Data tersebut dijual di darkweb dengan harga 74.000 dolar AS atau sekitar Rp 1,2 miliar.
Data yang bocor meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Kartu Keluarga (No. KK), nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, RT, RW, kode kelurahan, kecamatan, kabupaten, serta kode Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Menkominfo Budi Arie Setiadi menyatakan di media bahwa data yang bocor itu adalah data biasa, yang merupakan data KPU. Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, menanggapi hal tersebut.
“Ini merupakan malapetaka bagi rakyat dan demokrasi. Mengapa malah dikatakan sebagai data biasa. Kami sudah mengesahkan UU PDP tahun 2022 lalu. Kami menganggap UU PDP tersebut sangat mendesak saat itu, karena kebocoran data terus terjadi. Kami menganggap kejadian tersebut berpotensi berbahaya bagi bangsa kita. Pernyataan pak Menteri seolah menyepelekan hal itu,” ujar Sukamta pada Minggu (3/12/2023).
“Peretasan sistem elektronik yang dimiliki lembaga pemerintah dan kebocoran data pribadi itu sangat berbahaya. Bukan hanya berkaitan dengan motif ekonomi, tetapi ini bisa mengacaukan proses Pemilu 2024,” tambahnya.
Sukamta yang sebelumnya juga sebagai anggota Panja RUU PDP ini menambahkan bahwa dalam UU PDP Pasal 1 data Pribadi didefinisikan sebagai data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi.
“Data KPU yang bocor itu cukup lengkap, mulai dari NIK sampai nomor KK. Jelas ini termasuk dalam kategori data pribadi, karena bisa mengidentifikasi seseorang. Lebih spesifik lagi, ini masuk dalam kategori data pribadi yang bersifat umum. Sangat berisiko disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Apalagi jika data yang bocor adalah data yang dikelola oleh lembaga publik, potensi dampaknya bisa mengganggu penyelenggaraan negara,” ungkapnya.
Oleh karena itu, wakil rakyat dari Yogyakarta ini, menekankan dua hal. Pertama, pejabat publik dalam hal ini Menteri Kominfo, jangan membuat pernyataan yang kontraproduktif dan terkesan meremehkan apa yang selama ini sudah kita upayakan, yaitu perlindungan data pribadi dalam bentuk UU.
Kedua, pemerintah segera menyelesaikan peraturan-peraturan turunan dari UU PDP, khususnya Presiden harus segera menerbitkan Perpres tentang pembentukan lembaga otoritas pengawas PDP agar segera bisa melakukan fungsi pengawasan pelindungan data pribadi. Jangan sampai UU ini tumpul karena badan penyelenggaranya belum ada.