Ditulis oleh
Netralitas Aparatur Negara Dalam Pemilu
Oleh :
Dr. Andry Wibowo, SIK., MH., MSi
KABAR DPR – Sejak demokrasi dan sistem pemilu dikenal dunia, netralitas aparatur negara menjadi isu penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Mengapa hal ini menjadi isu penting, berikut akan diuraikan secara sederhana. Pemahaman demokrasi secara sederhana adalah pemerintahan yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Caranya, rakyat menggunakan hak secara rasional dan merdeka untuk memberikan mandat kepemimpinan melalui Pemilu. Hasilnya, terbentuknya pemerintahan demokratis yang memiliki legitimasi (baca : dipercaya) publik. Pemerintahan demokratis sendiri menurut Robert A. Dahl setidaknya memiliki 6 aspek antara lain: Kontrol atas kepentingan pemerintahan. Pemilihan yang teliti dan jujur. Hak memilih dan dipilih sesuai konstitusi dan undang-undang. Kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman. Pendapat yang dimaksud berkaitan dengan pandangan logis, rasional dan faktual. Kebebasan terhadap akses informasi, yang didalamnya berkaitan dengan kemerdekaan pers. Kebebasan berserikat yang sesuai dengan norma hukum dan sosial dalam masyarakat. Dengan karakteristik tersebut, sistem pemerintahan demokrasi bisa diterima dan berjalan lebih dari 120 negara di seluruh dunia. Sistem pemerintahan demokratis dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat dunia modern. Masyarakat dengan pola pikir dan tindakan yang menuntut dialektika konstruktif antara masyarakat dan Negara. Pola relasi yang memberikan ruang koreksi untuk menyelaraskan pemerintahan, pembangunan dan kemanfaatannya bagi publik. Dalam sistem pemerintahan demokratis ditegaskan negara adalah milik seluruh warga negara. Negara bukan milik sebagian apalagi segelintir warga negara. Karena mensyaratkan partisipasi publik dan dioperasikan oleh banyak aktor, pemerintahan demokratis seringkali mengalami pasang surut dan turbulensi saat menghadapi kontestasi. Dapat dilihat dari berbagai peristiwa konfliktual yang terjadi di berbagai negara sebagai contoh. Pada tahun 2015 Turki melaksanakan pemilu yang ke-24. Penyelenggaraan pemilu yang dituduh menggunakan aparatur dan sumber daya negara secara masif untuk mendukung pemerintahan dari partai Keadilan. Para kontestan melakukan kampanye brutal menggunakan framing media dan intimidasi. Demikian pula dengan pemilu di Rumania tahun 2014. Peristiwa yang lebih mengerikan saat Pemilu terjadi di benua Afrika. Ribuan orang menjadi korban dalam pemilu di Kenya tahun 2007 silam akibat pemilu diselenggarakan secara tidak demokratis. Bahkan Amerika Serikat di masa pemerintahan Donald Trump juga mengalami konflk yang diakibatkan proses pemilu. Trump dari partai Republik memanfaatkan sumber daya eksekutif dan yudikatif sebagai presiden saat mencalonkan kembali sebagai presiden Amerika Serikat. Publik Amerika bereaksi negatif, dan Trump berhasil dikalahkan lawannya, Joe Biden dari partai Demokrat. Persoalan diatas menunjukkan sistem pemerintahan dan pemilu yang demokratis tidak menjadi jaminan segala sesuatunya bisa berjalan secara demokratis. Seperti Amerika Serikat yang selama ini menjadi contoh praktek demokrasi dunia, akibat nafsu berkuasa Donald Trump terperosok dalam persekongkolan jahat eksekutif dan yudikatif yang melanggar hukum dan prinsip trias politika. Aktor dalam ekosistem politik menjadi faktor penting bagi konsistensi proses demokrasi dijalankan. Demokrasi bisa berjalan sesuai mekanisme check and balances, atau justru menabrak aturan, bahkan tergelincir menggunakan instrumen negara akan sangat tergantung dari sikap dan orientasi aktor di dalam ekosistem politik tersebut. Karena itulah negara demokratis selalu meletakkan konstitusi dan hukum sebagai ruang yang membatasi proses demokrasi harus dijalankan seperti apa. Demokrasi tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa konstitusi supremasi hukum. Seluruh warga negara tanpa terkecuali berkewajiban menegakkan konstitusi dan patuh terhadap undang-undang yang berlaku.
Berangkat dari pengalaman tentang patologi demokrasi di dunia, netralitas dan ketaatan terhadap konstitusi adalah kata kunci yang harus dijalankan oleh aparatur negara. Karena dalam ekosistem politik demokrasi dan pemilu yang dijalankan secara periodik, pemegang kekuasaan politik tertinggi eksekutif dapat bergonta -ganti. Pada sisi lain negara akan terus berdiri. Konstitusi akan terus menjadi payung hukum tertinggi bagi setiap warga negara tidak terkecuali pemegang kekuasaan politik tertinggi termasuk aparatur negara. Pergantian kekuasaan politik tertinggi akan mempengaruhi bukan saja kebijakan pembangunan, lebih dari itu terhadap warna demokrasi yang akan ditorehkan dalam perjalanan sejarah periode kekuasaannya kelak. Sehingga dalam konteks demokrasi, pemilu serta pemerintahan, sikap dan orientasi aparatur negara adalah kesetiaan kepada negara, rakyat dan konstitusi. Inilah sikap utama abdi negara yang diejawantahkan bersikap netral dalam Pemilu. Belajar dari pengalaman di Kenya tahun 2007, kontestasi pemilu berpotensi melahirkan gejolak sosial, politik, hukum dan keamanan. Peristiwa tragis yang menghilangkan ribuan jiwa rakyat Kenya. Aktivitas politik yang berujung pada tragedi kemanusiaan yang diakibatkan buruknya ekosistem berdemokrasi dan pemilu. Bangsa Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini.
Keberpihakan dan pembiaran salah satu kontestan pemilu untuk memanfaatkan sumber daya negara dalam pemilu selain buruk bagi proses demokrasi, akan sangat berbahaya bagi kohesi sosial, politik, hukum dan keamanan. Menurunkan kepercayaan, mempertaruhkan kewibawaan dan martabat pemerintah serta keberlangsungan negara termasuk keselamatan warga negara. Netralitas aparatur negara adalah konsekuensi logis dari turunan pelaksanaan konstitusi dan prinsip dasar pemilu yang demokratis. Negara wajib hadir memberikan jaminan terjaganya kohesi sosial, politik, hukum dan keamanan demi keselamatan warga negara. Sesuai dengan adagium Cicero, seorang filsuf dari Italia, “Salus Populi Suprema Lex Esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.”
November, 2023
Apa reaksi anda soal berita ini?