Jakarta, CNBC Indonesia – Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sama-sama ingin membentuk Badan Penerimaan Negara jika menang Pilpres 2024.
Dalam dokumen visi, misi, dan program kerja “Indonesia Adil Makmur untuk Semua”, Anies-Muhaimin menjadikan program pembentukan badan itu sebagai bagian dari agenda misi 2 dari aspek Kelembagaan Keuangan Negara yang berintegritas dan akuntabel, melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar instansi.
“Merealisasikan badan penerimaan negara di bawah langsung Presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi guna menaikkan penerimaan negara,” tulis keduanya dalam dokumen visi misi dan program kerja, dikutip Jumat (27/10/2023).
Anies-Muhaimin pun menargetkan, untuk Meningkatkan penerimaan negara, dilakukan dengan cara perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4% pada 2022, menjadi 13,0%-16,0% pada 2029.
Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran memasukkan agenda pembentukan badan itu sebagai bagian dari 8 program hasil terbaik cepat untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto ke level 23%. Ini sebagaimana tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program kerja berjudul “Bersama Indonesia Maju”.
Keduanya berpendapat sebagian pembangunan ekonomi perlu dibiayai sebagian dari anggaran pemerintah. Anggaran pemerintah perlu ditingkatkan dari sisi penerimaan yang bersumber dari pajak dan bukan pajak (PNBP), maka dibutuhkan badan khusus untuk mengoptimalkan penerimaan.
“Untuk itu, negara membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri. Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 23%,” kata Prabowo-Gibran dalam dokumen visi-misinya.
Kalangan akademisi di universitas pun mengkritisi rencana kedua calon pemimpin Indonesia itu dalam membentuk badan khusus penerimaan negara atau dengan artian seperti rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan, seperti rencana yang pernah bergulir juga di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ekonom dari Universitas Diponegoro Wahyu Widodo menilai, rencana pembentukan badan baru untuk mendorong penerimaan negara sama saja seperti membuka ruang kembali inefisiensi organisasi birokrasi di pemerintahan. Sebab, bebang anggaran akan bertambah dengan adanya pengoperasian lembaga baru di bawah presiden.
“Ini secara institusi itu kelihatannya menarik ya ada di bentuk badan sendiri. Tapi jangan lupa kita punya pengalaman yang tidak baik dengan banyaknya badan, karena ada kultur organisasi yang tidak efisien, siapapun pemerintahannya,” ucap Wahyu kepada CNBC Indonesia dikutip Jumat.
Ia pun berpendapat, sebetulnya kinerja kemenkeu dengan reformasi birokrasinya sudah sangat baik dalam mereformasi direktorat yang bertanggung jawab pada penerimaan negara, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, hingga Direktorat Jenderal Anggaran untuk penerimaan negara bukan pajak.
“Saya kira tawaran pembentukan badan itu harus lebih dilihat dalam konteks bagaimana kita punya terlalu banyak badan malah justru tidak efisien dalam perencanaan,” ucap Wahyu.
Ia menganggap, yang dibutuhkan Indonesia saat ini untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan mendorong peningkatan tax ratio adalah perbaikan data wajib pajak serta mengurangi beban tarif dan administrasi perpajakan.
“Dengan itu, ekspektasi jangka menengah panjang ekonomi tumbuh cepat. Penyerapan penciptaan tenaga kerja juga akan lebih baik, sehingga setelah itu pendapatan pajak akan lebih tinggi, karena baiknya size dari ekonomi,” tuturnya.
Pandangan serupa disampaikan oleh Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin. Ia menganggap, ketimbang membentuk badan baru, yang lebih penting bagi pemimpin mendatang adalah fokus berupaya merealisasikan rendahnya tarif pajak, karena menjadi salah satu faktor kunci untuk meningkatkan kepatuhan, rasio pajak, serta penerimaan negara.
“Itu kalau bisa diturunkan supaya multiplier efek nya lebih tinggi. Misal rate pajak turun, tapi dengan aturan-aturan yang jelas,” tegas Eddy.
“Kalau perpajakan tinggi perusahaan kan sulit tumbuh. Tapi kan kalau perusahaan makin banyak, karyawan banyak, pengangguran turun, sehingga menghasilkan banyak uang, kalau pengangguran turun berarti konsumsi meningkat, pertumbuhan ekonomi naik, akhirnya kan juga pendapatan negara meningkat,” ungkapnya.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Asing Sorot Pilpres RI, Bukan Anies-Prabowo-Ganjar Tapi…
(haa/haa)