Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, mahalnya biaya pendidikan tinggi dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.
Dampaknya, kata Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal, banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).
Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).
Ledia juga menyoroti sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang masih dirasakan memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.
Menurut Ledia, sistem pendidikan tinggi perlu lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun terbatas secara ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujarnya.
Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kampus harus mandiri, namun tetap mempertimbangkan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda yang memiliki kemampuan akademis namun terbatas secara ekonomi.
Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki dengan melibatkan kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” ungkap Ledia.
Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri dapat terhubung dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya untuk membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” tutur Ledia.
Dengan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Ledia berharap Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.