Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta menolak keras Undang-undang Daerah Khusus Jakarta yang baru disahkan beberapa waktu lalu. Dalam keterangan pers yang diikuti secara daring pada Rabu (3/4/2024) Koalisi yang antara lain beranggotakan Walhi, PBHI, LBH Jakarta, dan perwakilan IAI ini menilai penyusunan UU Daerah Khusus Jakarta yang tidak transparan, partisipatif, dan tergesa-gesa.
“Kita tahu bersama pemerintah selalu menggunakan dalih pembangunan hijau untuk Aglomerasi artinya pembangunan yang Sustainable bagi masyarakat. Sementara itu kita tahu bersama bahwa pembangunan di Jakarta tidak pernah lepas dari betonisasi yang memarjinalkan masyarakat, kita ambil contoh Hang Jebat, Kampung Bayam, cipinang dll. Masyarakat selalu mendapatkan dampak dari atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sejauh ini tidak pernah mengedepankan aspek HAM dalam pembangunan di Jakarta,” ucap, Muhamad Ridwan Ristomoyo, PBHI Jakarta.
Selain itu, ada problematika hukum yang terjadi pada UU DKJ pembahasan dalam waktu yang sangat sempit, selain mempertaruhkan substansi pengaturan, juga akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang Jakarta. Ketiadaan atau rendahnya partisipasi masyarakat akan menyebabkan lemahnya legitimasi undang-undang tersebut. Padahal dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022 dinyatakan bahwa, penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga syarat yakni pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya, kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Peminggiran terhadap Hak-hak Masyarakat Miskin Perkotaan. Jika membaca keseluruhan naskah dalam UU DKJ, maka dapat dilihat tujuan sebenarnya dari beleid ini adalah untuk memfasilitasi kepentingan elit para pemodal. Meskipun pada konsiderans pertama memuat mengenai perwujudan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia, namun hal tersebut hanya menjadi tempelan belaka. Tujuan utama dari disahkannya undang-undang ini sebetulnya terdapat pada konsiderans kedua, yakni menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Kota Global & Pusat Ekonomi Menjadikan Jakarta sebagai Kota Pusat Krisis. UU DKJ memproyeksikan Jakarta menjadi pusat ekonomi nasional dan kota global demi produksi nilai ekonomi yang besar. Status tersebut berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta pusat kegiatan bisnis nasional, regional, dan global. Paradigma pembangunan sendiri masih bertumpu pada pendekatan kapitalistik yang terus-menerus mengupayakan peningkatan nilai ekonomi tanpa batas tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.
Kawasan Aglomerasi Sarat akan Politik Kartel dan State Capitalism. Dewan Kawasan Aglomerasi berfungsi sebagai alat legitimasi bagi elit korporat dan politik untuk mengekang kemandirian dan otonomi daerah dengan mengatur pelaksanaan rencana induk kawasan aglomerasi oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta ditunjuk langsung oleh presiden. Sementara berdasarkan pasal 53 rencana induk tersebut didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, serta Kebijakan Strategis Pusat dan Jakarta sebagai Kota Global yang menjadi pusat bisnis. Sehingga hal ini hanya untuk memperkuat dominasi kapitalis dan oligarki politik semata dan merugikan kepentingan rakyat.
Berangkat dari catatan tersebut, Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta menuntut agar Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta dicabut. Kami juga mendesak pemerintah untuk memastikan kekhususan Jakarta harus terletak pada pemulihan ekologisnya dan memastikan masyarakat berpartisipasi secara bermakna dalam seluruh kebijakan dan pembangunan di Jakarta dan wilayah sekitarnya.